Pohon Beringin Runtuh Di Tangan Punggawa Bermental Rapuh

Soeharto-pemilu 1971Terkenang pada peristiwa kampanye Golkar pada pemilu 1971, kala itu usia saya masih 6 tahun, tanpa memahami masalah politik, penulis dibawa berkeliling dari satu kecamatan ke kecamatan lain (dalam satu kabupaten) oleh almarhum ayah saya yang pada saat itu menjadi salah satu pengurus teras Golkar salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh..

Penulis ingat, ayah bersama 2 stafnya mebawa sejumlah cenderamata dalam mobil Toyota Hardtop dalam jumlah banyak setiap akan pergi ke desa-desa.

Benda-benda yang lebih tepat disebut sebagai hadiah itu berupa  radio kecil, senter, lampu petromak, lampu teplok, bolpoin, pisau dapur hingga barang kecil remeh temah lainnya tapi sangat dibutuhkan warga desa. Kira-kira mirip pedagang asongan keliling kampung terlihat saat ini.

Ayah sebagai PNS saat itu menjabat sebagai sekretaris DPRD di salah satu kabupaten. Saat itu, kampanye tidak dilakukan oleh caleg orang per orang, tapi kampanye partai sendiri yang akhirnya menentukan sejumlah anggota dewan dari partai itu sendiri yang akan menjadi anggota dewan.

Saya teringat, orang-orang berbisik-bisik atau merayu minta benda tersebut pada saya saat ayah saya sedang pidato dengan Toa genggam atau sedang berbincang dengan warga lainnya dekat tumpukan hadiah-hadiah tersebut.

Karena saya tidak mengerti apa-apa dan tidak dapat wanti-wanti dari ayah saya tentang bagaimana tata cara dan syarat memberikan benda tersebut pada warga maka saya berikan saja pada beberapa orang saat ayah saya dan stafnya lengah pada tumpukan hadiah tersebut.

Ketika warga mulai rebutan benda itu terang saja saya ditegur karena pemberian hadiah tersebut ternyata tidak sembarangan.

Entah apa syaratnya yang jelas saya lihat tidak semua orang mendapatkan pemberian tersebut meski sejumlah barang yang di bawa itu umumnya habis diberikan setiap pulang perjalanan kunjungan ke sebuah desa atau kecamatan.

Golongan Karya sebagai kontestan pendatang baru pada pemilu 1971  dianggap partai gurem atau tak punya kekuatan di akar rumput oleh partai-partai lainnya yang telah mendominasi perolehan suara pada pemilu sebelumnya seperti Masyumi, Syarikat Islam, NU dan golongan partai lainnya yang lebih berkuasa pada pemilu sebelumnya (1955).

Partai raksasa berbasis agama dan nasionalis pada saat itu mendominasi parlemen, seperti Parmusi, Syarikat Islam, NU dan PNI. Hadirnya Golongan Karya pada pemilu pertamanya (1971) yang diprakarsai oleh Letkol Suhardiman dan kawan-kawan pada akhir masa berkuasanya bung Karno lebih disebabkan oleh pengaruh Sukarno yang dinilai memudar atau antisipasi menghadapi perpindahan kekuasaan dari rezim Sukarno pada rezim Soeharto.

Cikal bakal Partai Golkar (Golongan Karya) itu sendiri sebenarnya telah mencuat pertama sekali pada 20 Oktober 1964 saat sejumlah organisasi kemasyarakatn dikonsolidasikan oleh beberapa perwira TNI di atas komando Brigjen Djuhartono. Melalui koordinator  Letkol Suhardiman sejumlah ormas, organisasi pemuda dan pekerja dan mahasiswa akhirnya membentuk Sekretaris Bersama (Sekber Golkar)

Pada 4 Februrari 1970 sejumlah ormas yang tergabung dalam sekber tadi memutuskan ikut serta dalam pemilu 1971 sesuai proses dan prosedur yang berlaku saat itu.

Pemilu 1971 terlaksana pada 5 Juli 1971 dengan 10 anggota partai saja. Melalui sistem pembagian suara yang berlaku saat itu (konsitutante), dari 58 juta rakyat pemilih terdapat 94% suara yang sah. Pemenang  urutan pertama  adalah Golongan Karya dengan perolehan 238 kursi di DPR, lalu Partai NU memperoleh 58 kursi dan PNI memperoleh 20 kursi.

Terlepas dari persoalan apakah pemilu itu jenis Pseudo Demokratis atau Politik Demokratis kenyataannya Golongan Karya yang baru pertama berkecimpung pada pemilu 1971 menjadi partai dominan, menang mutlak secara nasional meskipun ternyata kalah di Aceh yang didominasi oleh partai NU.

Sejak 1971 hingga hari ini (2015) usia partai berlambang Beringin ini telah berusia 44 tahun. Dalam kajian Tionghoa dan mungkin beberapa orang yang mengenal hoki angka sebagian orang tidak menyukai angka 4, apalagi angka ganda 4 misalnya angka 44 pada usia Golongan Karya saat ini (44 tahun).

Golongan Karya (partai Golkar) yang telah diturunkan secara estafet dari generasi ke generasi turun temurun kepada pendekar-pendekar Golkar terhandal.

Kelihatannya kini partai itu telah mencapai titik kulminasinya pada tangan-tangan punggawa (katanya) terhandal dan teruji kemampuannya menghadapi tantangan zaman.

Para punggawa Golkar abad ini telah menjadikan Golkar menjadi partai yang terkenal, dikenal dan mungkin paling sering disebut-sebut jika tak pantas disebut “menggunjing.”

Partai yang telah dibentuk dengan susah payah dan pernah dinina bobokan pada zama Orba menjadi partai manja dan melankolis masa rezim Suharto tersebut mau tak mau telah menjadi partai yang besar dan menggiurkan banyak politikus ulung yang menyandarkan aneka kepentingannya di balik kendaraan politik tersebut.

Perseteruan menjadi kandidat atau calon ketua Golkar pun menghangat bahkan menjurus membara sejak Munas Golkar di Pekanbaru pada 4 – 7 September 2009 silam. Saat itu, sejumlah dedengkot partai Golkar berseteru habis-habisan membuat trik dan intrik kanan-kiri, klik-klikan sikut-sikutan sana-sini.

Kandidat yang ingin menguasai Golkar saat itu adalah Agung Laksono, Akbar Tanjung, Surya Paloh dan Abu Rizal Bakri. Melalui sistim gerilyanya, ARB ttak tergoyahkan, ia tak tergoyahkan, melenggang menjadi ketua  umum Golkar meninggalkan luka dan trauma sejumlah pesaingnya yang tak kesampaian cita-cita mereka. Saat tulisan ini dibuat adalah pada masa dua periode ARB berkuasa.

Kita tidak memahami apa keuntungan dibalik menjadi ketua pertai Golkar saat negara ini tidak lagi memberi layanan manja pada sebuah partai ini seperti masa rezim Soeharto dahulu. Apapun kondisi yang sebenarnya dibalik menjadi ketua pertai Golkar, yang terlihat oleh kita atau masyarakat saat ini adalah perseteruan memperebutkan jabatan ketua partai Golkar telah membuat partai ini berada pada ambang batas kehancuran pada usia 44 tahunnya.

Masyarakat dapat memberi sikap menjijikkan, membosankan atau melupakan hiruk pikuk tentang partai phon beringin ini.

Menjijikkan karena masyarakat dapat melihat gelora hasrat membara dari sejumlah punggawa Golkar saat ini untuk menjadi ketua partai yang pernah legendaris tersebut ternyata dihuni oleh politikus yang cerdas tapi licin dan licik bermental tebal bak kulit badak yang tak kenal takut karena tidak punya seni adab.

Membosankan karena hampir semua partai dari jaman dahulu kala pernah mengalami krisis internal seperti itu bahkan beberapa partai lainnya juga tak luput didera oleh perpecahan seperti Golkar saat ini, misalnya PPP dan PDI sebelumnya yang melahirkan PDI Perjuangan.

Melupakan adalah akumulasi dari kedua hal di atas (jijik dan bosan) daripada menghabiskan energi terlibat secara langsung ataupun tidak. Bahkan tayangan dan informasi tentang kondisi partai ini pun dinilai telah menyita energi masyarakat yang merasa tidak perlu dan tak penting mendapat informasi dari aneka media massa tentang apapun kondisi yang bakal terjadi pada partai Golkar. “Emangnya gue pikiran, pikir aja sendiri.,” adalah bentuk apatisnya masyarakat menyikapi informasi tentang partai Golkar saat ini.

Jika bentuk tidak perduli itu telah menjadi pilihan masyarakat baiklah  mari kita melupakan partai Golkar yang pernah legenderasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya mudah saja.

Namun sebelum langkah itu diambil saya mengajak bernostalgia sebagaimana saya sebutkan di atas betapa partai Golkar ini pernah solid dan memberi kenangan indah pada punggawa-punggawanya di masa lampau termasuk saya yang dapat merasakan kenangan indah tersebut.

Sebelum Golkar gulung tikar, tak salah melalui tulisan ini kita sejenak merenung ke belakang sejumlah pengorbanan besar atau kecil sekalipun telah membawa Golkar hadir dalam kancah politik Indonesia saat ini.

Salah satu legenda Golkar yang masih menjadi saksi adalah Suhardiman. Tak tahu kita apa dan bagaimana Suhardiman melihat kenyataan Golkar saat ini dikoyak-koyak oleh bringasnya para punggawa Golkar abad ini bersaing dengan slogan “Maju Tak Gentar.”

Apakah di tangan punggawa-punggawa politikus Golkar berkelas dunia “abad ini” ini nasibnya akan berakhir pada usia 44 tahun? Akankah muncul Golkar Reformasi atau Golkar Perjuangan atau malah “Gokar” buat balap-balapan dan saling salip menyalip di tikngan..??

Jika masyarakat akan memberi maaf tentu inilah yang diharapkan. Namun persyaratannya adalah selayaknya dan seyogyanya Politisi dan pengurus yang menghuni partai Golkar itu dapat menjadi contoh dan suri tauladan bagi masyarakat dalam literasi Politik nasional., bukan menjadi “terasi” nasional.

Loh..kok larinya ke terasi.. ? Ya, iyalaaah. Rasanya enak bagi diri sendiri. Aromanya enak bagi diri sendiri tapi menyengat bagi orang lain dan kesannya kurang sedap, terutama prosesnya..

Mari kita nantikan semoga penghuni partai Golkar dihiasi oleh polikus yang mampu memberi contoh suri tauladan dalam literasi politik di tanah air.

Berat..??? Jika tak mampu tolong jangan urus Golkar, hehehehhe.

Salam AGI

Terimakasih berkenan memberi komentar Anda

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.